Teringat pertama kali aku masuk kuliah, sebagai seorang yang bisa di bilang berputar arah, bahkan sampai 180 derajat, hehehe... dari bidang studi Akuntansi beralih ke sastra. Aku tidak banyak tau tentang sastra.. eh bukan gak banyak tau se meliankan gak tau sama sekali dunia sastra. :D
Waktu itu hari pertama kuliah..Ugh aku lupa kuliah matakuliah apa yach... Saat kegiatan belajar mengajar berlangsung aku duduk paling depan.. aku duduk tertegun melihat dosen sedang asyik menerangkan. sebenarnya bukan memperhatikan pelajarannya tapi memperhatikan dosennya..Upsss!!!!hehehe
Tiba-tiba sang dosen keren menghampiri ku.sebuah pertanyaan ditujukan pada ku "Apa yang saudara ketahui tentang Chairil Anwar". Hanya satu kata yang dapat ku jawab "Penyair". sang dosen pun melanjutkan pertanyaannya "Tolong jelaskan sedikit tentang Biografi Chairil Anwar"..what!!! Oh God. Aku tidak dapat menjawab. hanya bisa tersenyum manis dan bilang "Tidak tau Pak!" :D hehehe.. betapa bodohnya aku. Untung saja jam kuliah dah usai sudah waktunya keluar. tapi Bapak Dosen keren menyuruh Ku tuk mencari tau tentang Chairil dan besok harus bisa menjalaskan...
Hehehe....... Kisah memalukan tapi berujung membuahkan :D
Akhirnya aku berusaha cari tau tentang Chairil Anwar dan....... oc kawan aku pengen menulis sedikit pengetahuan tentang Chairil Anwar (meski dah banyak yang nulis sih.. :D)
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”