KEMELUT HATI
by : zusy*
Add caption |
Sambil menjinjing koper, ku langkahkan kaki dengan galau, jalan setapak yang dulu selalu kulewati masih tak jauh beda. Di kanan kiri tumbuh rimbunan pohon mahoni, pohon jati, pohon pisang dan pohon sengon yang tumbuh semakin besar di dekat juglangan. Dulu setiap sore banyak burung gagak terbang berputar-butar di atas pohon sengon. Kata emak di pohon itu banyak memedi makanya burung-burung gagak itu berputar-putar di sana. Hingga tak satupun anak-anak di desa ini berani bermain didekat pohon itu. Begitupun aku yang tak pernah berani bermain di dekat pohon itu. Jangankan bermain melintas di dekat pohon itu saja bulu kuduk ku merinding. kata-kata emak telah merasuk di pikiran ku dan menumbuhkan ketakutan yang mendalam terhadap pohon itu.
Semakin melangkah semakin dekat aku dengan pohon sengon, ada yang aneh kenapa tak ada burung gagak berputar-putar diatas pohon itu. Apakah mereka telah habis dimakan memedi. Atau kah mereka telah hijrah ke kota dan tak pulang-pulang seperti aku? Hati ku semakin galau dan ketakutan semakin menikam ku. Bukan karena aku takut jalan di dekat pohon itu bukan pula aku takut dimakan memedi seperti burung-burung gagak yang tiba-tiba menghilang.
Ketakutanku semakin dalam saat dari ujung jalan terlihat samar-samar rumah gedek dikelilingi pagar bambu. Apa yang hendak aku katakan jika seisi rumah itu menanyakan bagaimana kabarku dan kemana aku selama ini. Aku tidak sanggup membayangkan jika aku menceritakan apa yang terjadi dibalik kesuksesan ku sekarang. Meski hatiku sakit oleh paksaan bapak tapi aku tak tega melihat bapak akan jauh lebih sakit ketika mengetahui apa yang telah terjadi padaku.
Hatiku semakin berkecamuk, rasa kerinduan yang sangat mendalam mendorong naluriku untuk segera pulang, bertemu dengan emak dan bapak, orang tua yang setengah umurnya tersiksa rasa bersalah karena memaksa anaknya untuk kawin dengan saudagar kaya dan sejak itu anaknya menghilang entah kemana. Kedua adik perempuan ku yang sangat ku sayangi sekarang mungkin sudah dewasa dan mungkin sudah dikawinkan oleh bapak. Dan rasa ketakutan membisik dalam hati lebih baik aku tetap menghilang dari pada melukai hati mereka.
Lama aku tertegun menatap rumah tua itu. saat aku berbalik hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba terdengar suara teriakan menyebut namaku.
“Mbak Yuuu....”
Aku tersentak dan berbalik ke arah suara itu. seorang perempuan yang cantik jelita dengan rambutnya yang digelung berlari kearah ku. Dengan senyum bercampur derai air mata ia memelukku.
“mbak yu menyang endi wae.. Tini kangen”.
Rupanya dia Tini adek bungsu ku yang dulu selalu kucurangi dan menangis saat kalah bermain dongklak kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik jelita. Sampai-sampai aku tidak mengenalnya.
Di belakang Tini beriringan seorang wanita bertubuh gembrot dengan menggendong seorang anak berusia kira-kira tiga tahunan ikut berlari ke arah ku. Aku mengenal tubuh gembrot itu. Sri adek perempuanku yang gembrot kini telah menjadi ibu. Kami bertiga saling memeluk dengan isak tangis tumpahan kerinduan.
“Ini anak mu Sri?” ku awali percakapan.
“Inggeh mbak yu. Ini anak kedua ku. Yang mbarep sudah berumur 13 tahun sekarang sedang ikut bapaknya ke rumah embahnya”.
Aku kecup kening keponakan ku dengan penuh kasih sayang.
“Kalau kamu ndok sudah punya momongan?” tanyaku pada Tini
“Sudah mbak yu, itu di dalam tiduran di amben sama bapak”. Jawabnya sambil mengangkat koperku dan menuntunku masuk ke rumah.
Kaki ku kelu saat ku melangkah masuk ke halaman rumah. Tiba-tiba perempuan tua bertubuh renta keluar dari pintu, kulitnya keriput terbalut baju batik lusuh dan kain jarik. Dia terpaku menatap ku, tergambar kepedihan dan penderitaan yang tersimpan bertahun-tahun. Berlahan mata itu meneteskan air mata. Aku berlari ke arahnya. Aku bersujud dihadapnya. Ku peluk erat kakinya dalam isakan tangis ku. Tubuh rentanya membimbingku bangun dan ia memelukku erat. Tertumpahkan semua kerinduan yang terpendam.
Dalam isakan tangis, ku mulai berkata-kata “Ngapunten mak”
“kowe gak salah surti, emak yang salah, emak yang nyuwon ngapuro. Setiap hari emak menunggu kowe ndak pulang-pulang. Sampe 30 taon lho ndok. Opo gak kangen karo emak e”. Ungkapnya dengan cucuran air mata.
Aku memeluknya dan menciumnya berkali-kali. Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuk dari dalam rumah. Aku dibimbing emak masuk rumah. Rumah ini masih sama seperti dulu. Rumah gedek dengan penataan yang amat sangat sederhana sepertinya rumah itu sengaja dibelah menjadi dua bagian. Sebelah kanan ruang tamu sebelah kiri empat sentong. Dan di bagian belakang di tambahi ruangan sebagai pawon.
Ibu mengajakku masuk ke sentong paling belakang dekat dengan pawon. Berlahan aku masuk ke ruangan itu yang hanya berpintu kelambu. Seorang lelaki tua terbaring di atas amben. Dengan kopiah putih dan sarung yang dari dulu merupakan baju kebesarannya. Sebelahnya tertidur pulas anak kecil putra si Tini. Lelaki itu tidak bergerak dari amben. Tidak sedikit pun kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya air mata yang mengalir dari kelopak matanya yang terus menatapku. Aku memeluknya dengan isakan tangis dan ungkapan maaf yang tak kunjung henti karena aku telah berpuluh-puluh tahun meninggalkannya tanpa jejak.
Tini menjelaskan semenjak kepergianku bapak terus sakit-sakitan. Hingga kini sekujur tubuhnya lumpuh terserang strok yang terus menggerogotinya. Ah hati ku semakin berkecamuk, sakit, menahan rasa bersalah dan tak kuasa menahan kepalsuan yang ku pendam kian membebani batin ku menyayat bahkan mencabik-cabik jiwa ku. Saat semua menanyakan kemana saja aku selama ini.
Aku hanya bisa menjawab aku telah menjadi dosen di kota dan mereka bangga terhadap ku. Namun aku tiada dapat menjawab bagaimana aku dapat menempuh pendidikan hingga aku menjadi seorang dosen. Aku tak kuasa menjawabnya. Itu semua adalah aib bagiku. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi seandainya kujelaskan aku telah menukar kehormatan ku demi sebuah kehidupan dikota?
* Mahasiswa FIB Unair'07
Mm..lumayan oke sih San isi cerpenmu.
ReplyDeletesdikit terlalu banyak mengulang kata jadi sedikit borring. tapi ga ppa, ttep bagus kok, namanya juga karya, nggak ada bener/salah,cuma sdikit butuh kritik membangun kan :)
aku likethis berat sama diksi "Mbaak yuuuu" mu San! Wonderful. aahahaha
apik wz, meski bahasanya kurang begitu mudeng aku.
kok campuran gitu Sa -.-"
Sukses ya!
Hm..lumayan oke isi ceritanya San. Meski sdikit banyak pengulangan diksi,jadi agak monoton,tapi it's ok! di dalam suatu karya kan gda bener/salah,cuma butuh saran&kritik membangun kan.
ReplyDeletetrus, aku suka bgt pilihan diksi "mbak yuuuuuuuuu" mu! hahaha,bahasanya kok campur-sari gitu San, agak ga mudeng aku. Lucu tapi \('-')/
Sukses ya!
hehehehehe...
ReplyDeletekan kata bu bea katanya suruh menampilkan warna lokal.. jadi ya bahasanya campuran.. hehehehe
Thank Kritiknya :)