Welcome To My Blog # My Mind # My Inspirate

Friday, November 16, 2012

Prosa Baru (Cerpen) : Dewasa di kepala Catrin



Dewasa di kepala Catrin
by: Shanty_One

C
atrin  duduk termangu. Jam menunjukkan pukul dua siang. Tak biasanya jam segini ia ada di rumah. Biasanya mulai jam tujuh pagi hingga jam sembilan malam ia selalu di sibukkan dengan sekolah dan les-les yang harus di ikuti. Beberapa kali babysitternya mengingatkan. “Dek Catrin ayo berangkat les, nanti telat lho”. Dengan tegas ia menolak “Tidak mau, aku capek mbak.” Babysitte itu pun tak henti membujuk “Ayo berangkat dek nanti kalau gak datang les mama marah lho.” Gadis kecil itu pun tak henti memberontak, kali ini ia menangis sambil berlari naik tangga ke kamarnya, “Tidak mau.. Tidak mau…” rengeknya sambil membanting pintu kamarnya.
            Ia membenamkan diri dalam pelukan sahabat dalam kesepiannya, si boneka beruang yang selalu menemaninya saat mama dan papanya disibukkan oleh urusan-urusan orang dewasa. Ya, setiap kali Catrin tanya kepada mama dan ayahnya kata-kata yang sering muncul adalah “Urusan orang dewasa”.

Suatu hari Catrin bertanya kepada orangtuanya “Ma, kenapa mama sibuk terus, padahal kita sudh punya rumah mewah dan mobil banyak?”. Mama “Ini urusan orang dewasa Catrin, kalau mama dan papa jelaskan sekarang kamu tidak akan mengerti.” Suatu hari Catrin bertanya lagi kepada papanya “Mengapa papa dan mamanya sering sekali bertengkar padahal kata ibu guru kita gak boleh bertengkar?” dan jawaban yang muncul sudah dapat ditebak oleh ketri, “Ini urusan orang dewasa sayang, kamu masuk kamar saja ya.”
Begitu jelas kata-kata itu terngiang dalam ingatan Catrin. Dan hampir semua pertanyaan-pertanyaan Catrin kepada papa dan mamanya selalu menghasilkan jawaban yang sama. Sampai-samapai Catrin hafal dengan jawaban itu.
Kini mama Catrin sedang berada di luar negri menghadiri peresmian pembukaan cabang baru perusahaannya, dan papanya, Catrin tidak tahu kemana papanya pergi. Sejak mamanya berangkat dua hari yang lalu papanya ikut tidak pulang.
Gadis kecil itu masih tetap terdiam dalam senggukannya. Berkali-kali mbak Inem babysitternya mengetuk-ngetuk pintu tapi ia tetap tak menghiraukan.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening. Hanya gemericik air hujan yang jatuh dari langit memecah sepi dan sesekali senggukan Catrin terdengar di balik boneka beruangnya. Suara ketukan dan panggilan mbak Inem pun tiada terdengar lagi. Mungkin mbak Inem capek memanggilnya berulang-ulang atau mungkin mbak Inem kasihan dengan gadis kecil itu, yang kegiatannya begitu padat. Tapi apa mungkin mbak Inem punya belas kasihan pada Catrin, ia lebih takut kepada majikan yang membayarnya dari pada membela anak kecil yang meronta-ronta menolak diantarnya les.
Catrin bangkit dari pelukan teman kesepiannya. Dipandangnya runtutan jadwal yang terpampang di dinding kamarnya. Selasa pukul 7.00-12.30 sekolah, 13.30-15.00 les balet, 15.30-17.30 les bahasa Inggris, 17.30-20.30 les piano. Yah seperti itulah hari-hari Catrin. Setiap hari disibukkan les dan les. Ada tujuh macam les yang harus ia ikuti. Ia sendiri tidak tahu mengapa mamanya hobi sekali mengikutkan dirinya berbagai macam les dan dengan bangga membicarakan kesibukan anaknya ke rekan-rekan kerjanya. Padahal ia tak pernah tau bagaimana dalam perkembangan Catrin mengikuti les-les yang telah didaftarkannya. Dan bagaimana perasaan Catrin ketika ia menyodorkan kertas berisi rentetan jadwal les yang harus Catrin lakukakn. Yang ia tahu hanya membayar les dan memastikan anaknya berangkat. Ya hanya itu.
Terdengar suara anak-anak kecil tertawa riang diantara dentingan suara hujan. Catrin mendekati jendela. Didapatinya segerombolan anak-anak kampung yang berkejar-kejaran ditengah guyuran hujan. Salah satu diantaranya ada Tika yang ia kenal. Tika adalah anak pak Tohir, tukang kebunnya. Biasanya Tika datang kerumahnya membantu bapaknya membersihkan taman. Dan kadang Catrin mengajaknya bermain jika ada waktu luang.
Catrin melihat betapa riang gembiranya mereka bisa bermain-main dalam tengah hujan. Tidak terbelenggu oleh kegiatan-kegiatan yang ia sendiri tidak mengerti untuk apa. Tidak terbayang-bayang kehidupan orang dewasa yang biasa ia lihat di keluarganya dan dari alasan orang tuanya mengapa mengikutkannya dalam berbagai macam les. Catrin berangan andai saja ia bisa memilih ia ingin menjadi anak pak Tohir saja yang dengan riang bisa bermain dengan anak-anak kampung dan mendapatkan kasih sayang yang begitu besar seperti Tika.
Lama iya tertegun melihat Tika bersendau gurau dengan teman-temannya, ia pun tertarik untuk ikut bermain hujan. Diam-diam ia keluar dari rumahnya. Tidak ada orang yang melihatnya, pembantu dan babysitternya sedang asyik ngrumpi di belakang sedangkan pak satpam yang selalu siaga mengawasi setiap orang yang keluar masuk gerbang rumahnya tidak tahu kemana, mungkin kebelakang atau entah kemana. Catrin tidak ambil pusing ia keluar dan bergabung dengan Tika.
Tika terkejut melihat kedatangan Catrin. “Den, Catrin,” sapa Tika kepada majikannya.
“Aku ikut bermain sama kalian ya?” pinta Catrin kepada Tika dan kawan-kawannya.
“Tapin Den, nanti kamu dimarahi mama mu lho.”
“Mama gak ada dirumah. Aku sendirian. Aku ingin bermain bersama kalian.” Catrin memaksa.
Mereka berlari-lari dijalanan kompleks perumahan elit itu. Tawa merekah di bibir Catrin. Baru kali ini ia merasa begitu bahagia. Segala bayang-bayang permasalahan orang dewasa yang selama ini menghantuinya kini luluh bersama canda tawa anak-anak kampung itu.  Baru sesaat ia merasakan indahnya dunia anak-anak tiba-tiba dari ujung jalan terlihat jaguar merah melintas menuju arah rumanya. Sedan merah itu berlalu namun beberapa menit kemudian berjalan mundur menghampiri Catrin. Pintu mobil terbuka. Wanita bersepatu hak tinggi keluar dari mobil. Catrin terkejut ketika wanita itu memanggil dirinya. Ya dia mama Catrin yang baru pulang dari Singapore.
Ditariknya lengan Catrin kuat-kuat. Catrin membrontak tapi tangan orang dewasa sekuat hegemoni pemikirannya terhadap anak-anak. Catrin tak kuasa melawan. Hanya tangisannya yang kini bergemuruh bercampur deru suara hujan yang kian lebat.
Sesampai dirumah beribu omelan-omelan keluar dari mulut mamanya. Seisi rumah jadi sasaran. Mamanya semakin marah ketika tahu bahwa sekarang jadwal les matematika tapi Catrin malah bermain-main dengan anak-anak kampung.
“Harus berapa kali mama bilang kamu harus rajin ikut les Catrin. Semua itu akan berguna ketika kelak kamu dewasa,”  bentak mamanya ketia ia terus menangis. Seiring bentakan itu pintu kamar Catrin dibanting dan di kunci dari luar. 
Catrin semakin menangis. Masih terngiang kata-kata terakhir yang begitu ia hafal yang keluar dari mulut mamanya “dewasa”. Ia berteriak “Aku tidak mau menjadi dewasa.” Berulang-ulang ia teriakkan kata-kata itu. Ia berteriak sambil memukul-mukulkan kepalanya seolah-olah ingin mengeluarkan beban yang membelenggu dirinya, yang menjauhkan dirinya dari masa kanak-kanak. Ia pecahakan benda-beda yang ada di dalam kamarnya. Ia terjatuh dalam kamar mandi. Kepalanya membentur bath up. Darah segar mengalir lembut. Seiring teriakan yang kian melemah.
 

No comments:

Post a Comment