SEMIOTIKA
RIFFATERRE*
Penekanan
teori semiotika dalam kaitannya dengan karya sastra adalah pemahaman makna
karya sastra melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa
adalah sistem tanda dan bahasalah media sastra. Keseluruhan teks dari suatu
karya sastra merupakan tanda-tanda yang perlu dimaknai untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih baik terhadap teks tersebut.
Penelitian
ini memanfaatkan teori semiotika yang dikembangkan oleh Michael Riffaterre.
Teori semiotika Riffaterre secara umum memuat empat pokok pemikiran berkaitan
dengan pemaknaan karya sastra. Pertama, ketidaklangsungan ekspresi.
Sastra merupakan salah satu aktivitas berbahasa. Bahasa sastra berbeda dengan
bahasa sehari-hari.
Bahasa sehari-hari bersifat mimetik, sedangkan bahasa sastra
bersifat semiotik. Karya sastra mengekspresikan konsep-konsep dan hal-hal
melalui ketidaklangsungan. Dengan kata lain, karya sastra menyatakan sesuatu
dan mengandung arti lain (Riffaterre,
1978:1). Ada
tiga kemungkinan yang menjadi penyebab ketidaklangsungan ekspresi, yaitu displacing
of meaning (penggantian arti), distorting of meaning (penyimpangan
atau perusakan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).
Dikatakan penggantian arti apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu
arti ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Penyimpangan
atau perusakan arti apabila terdapat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense.
Penciptaan arti apabila suatu tanda “keluar” dari tataran linguistik, yang
bahkan terlihat tidak mempunyai arti. Di antara ketiga ketidaklangsungan
tersebut, ada satu faktor yang senantiasa ada, yaitu semuanya tidak dapat
begitu saja dianggap sebagai representasi realitas. Representasi realitas hanya
dapat diubah secara jelas dan tegas dalam suatu cara yang bertentangan dengan
kemungkinan atau konteks yang diharapkan pembaca atau bisa dibelokkan oleh tata
bahasa atau leksikon yang menyimpang, yang disebut ungrammaticality
(ketidakgramatikalan) (Riffaterre,
1978:2). Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan berkaitan dengan
bahasa yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian majas.
Sebaliknya, dalam ruang lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan
dengan segala sesuatu yang “aneh” yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya
struktur naratif yang tidak kronologis.
Kedua, pembacaan
heuristik dan hermeneutik. Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang
lebih tinggi (Riffaterre, 1978:4).
Proses semiotik pada dasarnya terjadi di dalam pikiran pembaca sebagai hasil
dari pembacaan tahap kedua. Sebelum mencapai tahap pemaknaan, pembaca harus
menghadapi rintangan pada tataran mimetik. Proses dekoding karya sastra diawali
dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal hingga akhir teks.
Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan heuristik dan pada tahap
inilah terjadi interpretasi tahap pertama. Pada tahap ini, kompetensi
kebahasaan dan kesastraan memainkan peran penting (Riffaterre, 1978:5). Melalui kedua
kompetensi tersebut, pembaca dapat mengenali adanya “keanehan-keanehan” dalam
sebuah karya sastra, baik dalam hal kebahasaan maupun dalam hal-hal yang
berkaitan dengan struktur karya sastra secara keseluruhan.
Setelah
melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua,
yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada
tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang
sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan
berkaitan dengan apa yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama.
Pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding. Artinya pembaca mulai dapat
memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama,
terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang
ekuivalen (Riffaterre, 1978: 5-6).
Berkaitan
dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, perlu dibedakan pengertian arti dan
makna. Yang dimaksud dengan arti adalah semua informasi dalam
tataran mimetik yang disajikan oleh teks kepada pembaca, sedangkan makna
adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik (Riffaterre, 1978:2-3). Secara sederhana,
dapat dinyatakan bahwa arti sepenuhnya bersifat referensial sesuai
dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan makna bisa saja “keluar”
dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di luar teks (Riffaterre, 1978:2). Pada pembacaan heuristik pembaca hanya
mendapatkan arti sebuah teks, sedangkan makna diperoleh ketika
pembaca telah melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik. Pergantian dari arti
menjadi makna pada akhirnya memunculkan konsep interpretan, yaitu sebuah
tanda yang “menerjemahkan” tanda-permukaan teks dan menjelaskan hal lain yang
disajikan oleh teks (Riffaterre,
1978:81).
Ketiga, matriks,
model, dan varian. Pada proses pembacaan tahap kedua dikenali adanya matriks,
model, dan varian-varian. Karya sastra merupakan hasil transformasi matriks,
yaitu sebuah kalimat minimal yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih panjang,
kompleks, dan tidak harafiah. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur
teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa
sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu
diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur oleh
aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model,
dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama (Riffaterre, 1978:19). Kompleksitas teks pada
dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks
merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan
tata-cara pemerolehannya atau pengembangannya
(Riffaterre, 1978:21).
Keempat,
intertekstualitas. Interpretasi secara
menyeluruh terhadap karya sastra hanya mungkin dilakukan oleh pembaca melalui
interteks. Karya sastra mengandung arti hanya dengan mengacu kepada teks-teks
lain (Riffaterre, 1978:149), baik teks
secara harafiah maupun teks dalam pengertian universal. Pemaknaan karya sastra
bersandar sepenuhnya pada intertekstualitas dan untuk mengenalinya bergantung
sepenuhnya pada kemampuan pembaca
(Riffaterre, 1978:124).
Fenomena
intertekstual tidak dapat dikenali tanpa membandingkan teks dengan
generatornya, yaitu hipogram
(Riffaterre, 1978:42). Secara khusus ada teks tertentu yang menjadi
latar penciptaan sebuah karya sastra, yaitu hipogram, sedangkan teks yang
menyerap dan mentransformasi hipogram disebut teks transformasi. Hipogram
merupakan sebuah sistem tanda yang berisi setidaknya sebuah pernyataan yang
bisa saja sebesar sebuah teks, bisa hanya berupa potensi sehingga terlihat
dalam tataran kebahasaan, atau bisa juga aktual sehingga terlihat dalam teks
sebelumnya (Riffaterre, 1978:23).
Kalimat inti hipogram bisa saja aktual atau tidak sama sekali (Riffaterre, 1978:25). Apabila hipogram merupakan teks yang aktual,
dalam hal ini adalah karya sastra yang lain, kompetensi kebahasaan pembaca
mungkin tidak cukup. Ketika pembaca mengenali hipogram dan menguraikan teks
berdasarkan hipogramnya, interpretasinya tidak hanya berisi penguraian, tetapi
juga kesadaran terhadap tradisi. Kesadaran ini mengarahkan pembaca kepada
evaluasi estetikanya (Riffaterre,
1978:144). Hipogram dapat dihasilkan dari ungkapan-ungkapan klise, kutipan dari
teks-teks lain, atau sebuah sistem deskriptif
(Riffaterre, 1978:63). Hipogram merupakan dead landscape yang
mengacu kepada realitas yang lain
(Riffaterre, 1978:12) dan keberadaannya harus disimpulkan sendiri oleh
pembaca (Riffaterre, 1978:94).
Makna hakiki
sebuah karya sastra dapat diperoleh dengan memanfaatkan prinsip
intertekstualitas, yaitu menjajarkan, membandingkan, dan mengontraskan sebuah
teks transformasi dengan hipogramnya
(Riffaterre, 1978:3). Perlu disampaikan di sini bahwa intertekstualitas
berbeda dengan interteks,
Interteks adalah keseluruhan teks
yang dapat didekatkan dengan teks yang ada di hadapan kita, keseluruhan teks
yang dapat ditemukan dalam pikiran seseorang ketika membaca suatu bagian teks.
Jadi, interteks adalah korpus yang tak terbatas. Memang, bisa saja ditemukan
bagian awalnya: itu adalah teks yang membangkitkan asosiasi pikiran segera
setalah kita mulai membaca. Sebaliknya, jelas tak akan terlihat bagian
akhirnya. Banyak tidaknya asosiasi ini tergantung dari luasnya pengetahuan budaya
si pembaca….(Riffaterre, dalam Zaimar, 1991:25).
…intertekstualitas:
yaitu suatu fenomena yang mengarahkan pembacaan teks, yang mungkin menentukan
interpretasi, dan yang kebalikan dari pembacaan per baris. Ini adalah cara
untuk memandang teks yang menentukan pembentukan makna wacana, sedangkan
pembacaan per baris hanya menentukan makna unsurnya. Berkat cara memandang teks
semacam ini, pembaca sadar bahwa dalam suatu karya sastra, kata-kata tidaklah
mengacu pada benda-benda atau konsep atau secara umum tidak mengacu pada dunia
yang bukan kata-kata (nonverbal). Di sini kata-kata mengacu pada suatu jalinan
pemunculan yang secara keseluruhan sudah menyatu dengan dunia bahasa. Jalinan
itu dapat berupa teks-teks yang telah dikenal maupun bagian-bagian dari teks
yang muncul setelah terlepas dari konteksnya yang dapat dikenali dalam
konteksnya yang baru, sehingga orang tahu bahwa teks tersebut telah ada sebelum
ia muncul dalam konteksnya yang baru ini
(Riffaterre, dalam Zaimar, 1991:26).
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa teks-teks lain yang dapat didekatkan dengan teks
yang kita baca bersifat luas sekaligus terbatas. Maksudnya, teks-teks tersebut
bisa saja berupa teks-teks yang bersifat universal, tidak hanya teks-teks
tertulis. Tetapi, keuniversalan teks-teks tersebut terbatas pada teks-teks yang
berupa sebuah sistem spesifik dan bersifat verbal; tidak semua peristiwa di
dalam kehidupan sehari-hari dapat dianggap sebagai teks. Ketika pembaca
berhasil menemukan interteks, intertekstualitas akan terlihat secara
eksplisit (Riffaterre, 1978:137).
Maksudnya, ketika pembaca berhasil menemukan adanya teks lain di dalam teks
yang dibacanya, kemudian menjajarkan, membandingkan, dan mengontraskan keduanya
sehingga dapat mengetahui hubungannya, pembaca akan merasa lebih mudah dalam
mengungkap makna teks.
Berkaitan dengan prinsip intertekstualitas,
ada dua kaidah yang berlaku dalam memproduksi teks, yaitu perluasan (ekspansi)
dan perubahan (konversi) (Riffaterre,
1978:22, 47). Ekspansi mengubah kalimat matriks menjadi bentuk-bentuk yang
lebih kompleks (Riffaterre, 1978:47),
sedangkan konversi mengubah kalimat matriks dengan memanfaatkan faktor yang
sama (Riffaterre, 1978:63). Pada bagian
sebelumnya telah dijelaskan bahwa matriks adalah kalimat minimal yang harafiah.
Melalui ekspansi dan konversi inilah matriks akan diubah menjadi bentuk yang
lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Ekspansi dan konversi ini
merupakan suatu interpretasi baru atas hipogram untuk menghasilkan teks
transformasi.
Di
dalam teori semiotika Riffaterre juga dikenal adanya dual sign. Dual
sign adalah sebuah kata yang bermakna rangkap sebagai hasil perpotongan
atau pertemuan dua sekuen semantik atau asosiasi bentuk (Riffaterre, 1978:86). Dengan kata lain,
sebuah tanda di dalam karya sastra memiliki kemungkinan untuk mengacu kepada
tanda-tanda yang lain; satu tanda memiliki dua acuan atau lebih. Dual sign
tidak hanya berupa kata-kata yang terdapat di dalam sebuah teks, tetapi juga
bisa berupa judul. Judul dapat memberikan informasi awal atau gambaran kepada
pembacanya tentang apa yang terdapat di dalam teks yang akan dibacanya. Pada
saat yang sama, judul bisa saja mengacu kepada teks-teks di luarnya (Riffaterre, 1978:99). Makna yang terkandung
di dalam dual sign dapat diungkap setelah pembaca menemukan adanya teks
lain di dalam teks yang dibacanya
(Riffaterre, 1978:82). Sebuah tanda yang berkedudukan sebagai dual
sign seperti sebuah pendulum semantik sehingga pembacaannya pun tidak
pernah stabil (Riffaterre, 1978:90).
Ketidakstabilan di sini tidak hanya mengacu pada pembacaan yang dilakukan oleh
dua pembaca yang berbeda, tetapi juga mengacu pada pembacaan yang dilakukan
oleh seorang pembaca. Hasil yang diperoleh seorang pembaca pada suatu pembacaan
selalu memiliki kemungkinan untuk mengalami pergeseran atau perubahan pada
pembacaan-pembacaan berikutnya terhadap teks yang sama. Hal ini dikarenakan
selalu ada perubahan pengetahuan atau pengalaman pembacaan yang mengarahkan
horison harapan pembaca seiring dengan perjalanan waktu.
Pada
akhirnya, dapat dinyatakan bahwa pembacalah satu-satunya penghubung antara
teks, interteks, dan interpretan
(Riffaterre, 1978:164). Tanda-tanda di dalam karya sastra memiliki dua
wajah, yaitu textually ungrammatical (tidak gramatikal secara tekstual)
dan intertextually grammatical (gramatikal secara intertekstual) (Riffaterre, 1978:165). Segala sesuatu yang
pada awalnya dan secara tekstual terlihat sebagai ketidakgramatikalan, sebagai
sesuatu yang “aneh,” akan menjadi gramatikal dan masuk akal secara intertekstual.
Pembacaan terhadap karya sastra bukanlah sesuatu yang stabil dan tidak ada
interpretasi final (Riffaterre,
1978:165).
*sumber: kuliah Telaah Puisi (FIB Unair)
No comments:
Post a Comment