Dewasa di kepala Catrin
by: Shanty_One
C
|
atrin duduk termangu. Jam menunjukkan pukul dua
siang. Tak biasanya jam segini ia ada di rumah. Biasanya mulai jam tujuh pagi
hingga jam sembilan malam ia selalu di sibukkan dengan sekolah dan les-les yang
harus di ikuti. Beberapa kali babysitternya
mengingatkan. “Dek Catrin ayo berangkat les, nanti telat lho”. Dengan tegas ia
menolak “Tidak mau, aku capek mbak.” Babysitte
itu pun tak henti membujuk “Ayo berangkat dek nanti kalau gak datang les mama
marah lho.” Gadis kecil itu pun tak henti memberontak, kali ini ia menangis
sambil berlari naik tangga ke kamarnya, “Tidak mau.. Tidak mau…” rengeknya
sambil membanting pintu kamarnya.
Ia membenamkan diri dalam pelukan
sahabat dalam kesepiannya, si boneka beruang yang selalu menemaninya saat mama
dan papanya disibukkan oleh urusan-urusan orang dewasa. Ya, setiap kali Catrin
tanya kepada mama dan ayahnya kata-kata yang sering muncul adalah “Urusan orang
dewasa”.
Suatu hari Catrin bertanya kepada orangtuanya
“Ma, kenapa mama sibuk terus, padahal kita sudh punya rumah mewah dan mobil
banyak?”. Mama “Ini urusan orang dewasa Catrin, kalau mama dan papa jelaskan
sekarang kamu tidak akan mengerti.” Suatu hari Catrin bertanya lagi kepada
papanya “Mengapa papa dan mamanya sering sekali bertengkar padahal kata ibu
guru kita gak boleh bertengkar?” dan jawaban yang muncul sudah dapat ditebak
oleh ketri, “Ini urusan orang dewasa sayang, kamu masuk kamar saja ya.”
Begitu jelas kata-kata itu terngiang
dalam ingatan Catrin. Dan hampir semua pertanyaan-pertanyaan Catrin kepada papa
dan mamanya selalu menghasilkan jawaban yang sama. Sampai-samapai Catrin hafal
dengan jawaban itu.
Kini mama Catrin sedang berada di luar
negri menghadiri peresmian pembukaan cabang baru perusahaannya, dan papanya,
Catrin tidak tahu kemana papanya pergi. Sejak mamanya berangkat dua hari yang
lalu papanya ikut tidak pulang.
Gadis kecil itu masih tetap terdiam
dalam senggukannya. Berkali-kali mbak Inem babysitternya
mengetuk-ngetuk pintu tapi ia tetap tak menghiraukan.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening.
Hanya gemericik air hujan yang jatuh dari langit memecah sepi dan sesekali
senggukan Catrin terdengar di balik boneka beruangnya. Suara ketukan dan
panggilan mbak Inem pun tiada terdengar lagi. Mungkin mbak Inem capek
memanggilnya berulang-ulang atau mungkin mbak Inem kasihan dengan gadis kecil
itu, yang kegiatannya begitu padat. Tapi apa mungkin mbak Inem punya belas
kasihan pada Catrin, ia lebih takut kepada majikan yang membayarnya dari pada
membela anak kecil yang meronta-ronta menolak diantarnya les.
Catrin bangkit dari pelukan teman
kesepiannya. Dipandangnya runtutan jadwal yang terpampang di dinding kamarnya.
Selasa pukul 7.00-12.30 sekolah, 13.30-15.00 les balet, 15.30-17.30 les bahasa
Inggris, 17.30-20.30 les piano. Yah seperti itulah hari-hari Catrin. Setiap
hari disibukkan les dan les. Ada tujuh macam les yang harus ia ikuti. Ia
sendiri tidak tahu mengapa mamanya hobi sekali mengikutkan dirinya berbagai
macam les dan dengan bangga membicarakan kesibukan anaknya ke rekan-rekan
kerjanya. Padahal ia tak pernah tau bagaimana dalam perkembangan Catrin
mengikuti les-les yang telah didaftarkannya. Dan bagaimana perasaan Catrin
ketika ia menyodorkan kertas berisi rentetan jadwal les yang harus Catrin
lakukakn. Yang ia tahu hanya membayar les dan memastikan anaknya berangkat. Ya
hanya itu.
Terdengar suara anak-anak kecil tertawa
riang diantara dentingan suara hujan. Catrin mendekati jendela. Didapatinya
segerombolan anak-anak kampung yang berkejar-kejaran ditengah guyuran hujan.
Salah satu diantaranya ada Tika yang ia kenal. Tika adalah anak pak Tohir,
tukang kebunnya. Biasanya Tika datang kerumahnya membantu bapaknya membersihkan
taman. Dan kadang Catrin mengajaknya bermain jika ada waktu luang.
Catrin melihat betapa riang gembiranya
mereka bisa bermain-main dalam tengah hujan. Tidak terbelenggu oleh
kegiatan-kegiatan yang ia sendiri tidak mengerti untuk apa. Tidak
terbayang-bayang kehidupan orang dewasa yang biasa ia lihat di keluarganya dan dari
alasan orang tuanya mengapa mengikutkannya dalam berbagai macam les. Catrin
berangan andai saja ia bisa memilih ia ingin menjadi anak pak Tohir saja yang
dengan riang bisa bermain dengan anak-anak kampung dan mendapatkan kasih sayang
yang begitu besar seperti Tika.
Lama iya tertegun melihat Tika bersendau
gurau dengan teman-temannya, ia pun tertarik untuk ikut bermain hujan.
Diam-diam ia keluar dari rumahnya. Tidak ada orang yang melihatnya, pembantu
dan babysitternya sedang asyik
ngrumpi di belakang sedangkan pak satpam yang selalu siaga mengawasi setiap
orang yang keluar masuk gerbang rumahnya tidak tahu kemana, mungkin kebelakang
atau entah kemana. Catrin tidak ambil pusing ia keluar dan bergabung dengan
Tika.
Tika terkejut melihat kedatangan Catrin.
“Den, Catrin,” sapa Tika kepada
majikannya.
“Aku ikut bermain sama kalian ya?” pinta
Catrin kepada Tika dan kawan-kawannya.
“Tapin Den, nanti kamu dimarahi mama mu lho.”
“Mama gak ada dirumah. Aku sendirian.
Aku ingin bermain bersama kalian.” Catrin memaksa.
Mereka berlari-lari dijalanan kompleks
perumahan elit itu. Tawa merekah di bibir Catrin. Baru kali ini ia merasa
begitu bahagia. Segala bayang-bayang permasalahan orang dewasa yang selama ini
menghantuinya kini luluh bersama canda tawa anak-anak kampung itu. Baru sesaat ia merasakan indahnya dunia
anak-anak tiba-tiba dari ujung jalan terlihat jaguar merah melintas menuju arah
rumanya. Sedan merah itu berlalu namun beberapa menit kemudian berjalan mundur
menghampiri Catrin. Pintu mobil terbuka. Wanita bersepatu hak tinggi keluar
dari mobil. Catrin terkejut ketika wanita itu memanggil dirinya. Ya dia mama
Catrin yang baru pulang dari Singapore.
Ditariknya lengan Catrin kuat-kuat.
Catrin membrontak tapi tangan orang dewasa sekuat hegemoni pemikirannya terhadap
anak-anak. Catrin tak kuasa melawan. Hanya tangisannya yang kini bergemuruh
bercampur deru suara hujan yang kian lebat.
Sesampai dirumah beribu omelan-omelan
keluar dari mulut mamanya. Seisi rumah jadi sasaran. Mamanya semakin marah
ketika tahu bahwa sekarang jadwal les matematika tapi Catrin malah bermain-main
dengan anak-anak kampung.
“Harus berapa kali mama bilang kamu
harus rajin ikut les Catrin. Semua itu akan berguna ketika kelak kamu
dewasa,” bentak mamanya ketia ia terus
menangis. Seiring bentakan itu pintu kamar Catrin dibanting dan di kunci dari
luar.
Catrin semakin menangis. Masih terngiang
kata-kata terakhir yang begitu ia hafal yang keluar dari mulut mamanya
“dewasa”. Ia berteriak “Aku tidak mau menjadi dewasa.” Berulang-ulang ia
teriakkan kata-kata itu. Ia berteriak sambil memukul-mukulkan kepalanya
seolah-olah ingin mengeluarkan beban yang membelenggu dirinya, yang menjauhkan
dirinya dari masa kanak-kanak. Ia pecahakan benda-beda yang ada di dalam kamarnya.
Ia terjatuh dalam kamar mandi. Kepalanya membentur bath up. Darah segar mengalir lembut. Seiring teriakan yang kian
melemah.
No comments:
Post a Comment