Momentum
pergantian tahun adalah peristiwa yang tepat untuk kita memuhasabah
(mengevaluasi) diri kita terhadap perjalanan hidup dan kehidupan kita
sebagai seorang hamba.
Secara umum, pergantian tahun baik Hijriah maupun Masehi hendaknya
menyadarkan bahwa kita sedang di dimensi waktu yang kita semua tak tahu
akhirnya.
WAKTU seakan tidak pernah berubah mengitari ruang
lingkup manusia di dunia. Terkadang waktu berjalan berbeda dengan
kehidupan seseorang seperti halnya aliran air, kadang terbelokkan oleh
secuil puing atau oleh tiupan angin sepoi-sepoi. Jika kita perhatikan
sebuah sungai, airnya mempunyai arah. Entah mengalir dari hilir ke hulu
atau atas turun ke bawah. Begitu juga dengan waktu.
Setiap desahan
detik, menit, dan jam pasti berawal serta akan berakhir. Ibarat sebuah
silsilah dalam keluarga; ada orang masa silam juga masa depan. Bila saja
orang masa silam menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari masa depan,
sejenak timbul pertanyaan dalam benak tentang sebab dan akibat.
Terkadang yang pertama mendahului yang kedua, terkadang yang kedua
menjadi yang pertama. Mungkin ’’sebab’’ tak selamanya berada di masa
silam. Sementara ’’akibat’’ tak selalu berada di masa depan.
Manusia
tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka mengenal masa
lalu, kini, dan mendatang. Pengenalan manusia tentang waktu berkaitan
dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Kesadaran kita tentang waktu
berhubungan dengan bulan dan matahari. Baik dari segi perjalanannya
(malam saat terbenam dan siang saat terbitnya) maupun kenyataan bahwa
sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya matahari atau sejak
tengah malam hingga tengah malam berikutnya.
Perhitungan semacam
ini menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi, walau
diperkenalkan dan diakui oleh Alquran (seperti setahun sama dengan dua
belas bulan pada surat At-Taubah ayat 36), juga memperkenalkan adanya
relativitas waktu. Baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan,
maupun pelaku.
Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan
hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan
duniawi.
Sebagai seorang muslim, pastinya, kita memandang waktu
sebagai bukti adanya Tuhan. Tak ada yang tercipta sempurna tanpa adanya
Sang Pencipta. Tak ada yang universal yang tidak bersifat ketuhanan.
Semua yang mutlak adalah bagian dari Maha Mutlak. Lalu bagaimanakah
dengan perputaran waktu yang tidak pernah berubah bak sebuah lingkaran.
Artinya apa yang terjadi sekarang pernah terjadi jutaan tahun
sebelumnya. Semua pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh manusia.
Sebab,
manusia hanya bisa melekat pada waktu yang menggelinding di jalurnya
sendiri-sendiri. Ada yang melekat pada waktu kesedihan, ada pula yang
melekat pada waktu gembira. Cepat atau lambatnya tergantung mana yang
lebih dipercaya oleh manusia itu sendiri apakah waktu mekanis atau waktu
tubuh; Waktu yang pertama kaku, tak dapat ditolak dan telah ditetapkan
sebelumnya. Waktu yang kedua meliuk-liuk, dan mengambil keputusan
sekehendak hati.
Jika manusia dapat memilih ruang waktu dan tidak
terjebak dengan kepasrahan, dimensi waktu dapat terlihat jelas; seperti
kelahiran-kelahiran, pernikahan-pernikahan, kematian-kematian adalah
pertanda sebagai adanya dimensi waktu. Beberapa orang merasa takut
meninggalkan saat-saat yang membahagiakan. Mereka memilih
berlambat-lambat, berjingkat melintasi waktu, serta mencoba mengakrabi
kejadian demi kejadian.
Jika benar waktu seperti itu, tidak ada
lagi benar atau salah. Sebab, kita bebas untuk mengambil pilihan atas
pilihan yang telah disediakan, yakni kemungkinan-kemungkinan yang tak
terhingga. Kalau waktu pengambilannya tepat, mungkin kita akan
beruntung, kalau tidak mungkin masih ada kesempatan berikutnya, atau
bisa jadi mati saja untuk mendapatkan kepastian.
Lalu mengapa
kita ragu pada ketidakpastian, atau kemungkinan? Mungkin jawabannya
karena kita tidak familier dengan kebebasan setelah jutaan penyekat
membatasi tubuh. Jasad kita dibatasi oleh 24 jam, 7 hari dalam seminggu,
4 minggu dalam sebulan, 12 bulan dalam setahun. Namun, jiwa kita
sesungguhnya bebas berkelana di dalam ruang waktu, melintasi
dinding-dinding tebal itu, sangat bebas di dalam dunia tanpa kebebasan.
Misteri
waktu membuat kita seringkali terkukung oleh rekayasa yang kita buat
sendiri, meski terasa absurd tetapi terus dianggap alamiah, dan
perangkat nasib atau ketetapan Tuhan sangat berguna dijadikan alasan
pembisuan, namun seberapa seringkah otak manusia bertanya maksud Tuhan
dari penciptaan waktu tersebut. Seorang Einsten pun sebelum
menyelesaikan teori relativitasnya sempat berkata pada Besso sahabat
karibnya, ’’Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati Tuhan’’.
Semoga
saja kali ini Allah SWT mau didekati agar mudah bagi kita untuk
bertanya soal waktu. Betapa hebatnya waktu sampai-sampai Tuhan pun
bersumpah demi diri sang waktu tersebut.
Untuk itu, mari kita
jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa yang akan datang
dengan penuh harapan bukan kepasrahan. Yakni setelah kesusahan akan
datang kemudahan dan kita yakin bahwa pagi pasti datang walaupun malam
terasa begitu lama dan panjang. Sebab, roda kehidupan selalu berputar
dan tidak mungkin berhenti. Imam Syafi’i pernah berkata: ’’Memang
sebenarnya zaman itu sungguh menakjubkan, sekali waktu engkau akan
mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh
kejayaan’’.
Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk
melihat kembali catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan
melakukan renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan
kesempatan ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di
dunia dan akhirat kelak, dengan becermin kepada nilai-nilai dan semangat
hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Sebab, sesungguhnya
Allah menjadi pergantian siang dan malam (perubahan waktu) untuk
dijadikan pelajaran dan mengungkapkan rasa syukur, sebagaimana
firman-Nya dalam surat Al-Furqan:6 2 ’’Dan Dia (pula) yang menjadikan
malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran
atau orang yang ingin bersyukur’’. Selamat Tahun Baru Hijriah.
Wallahu’alam.(*)
Oleh Yusuf Effendi
No comments:
Post a Comment