Tak seperti biasa malam ini begitu sunyi. Sinar
bulan tiada menyinar, bintang-bintang pun sepertinya sedang tertidur pulas
hingga tiada sadar tugasnya menghiasi malam terlupakan. semilir angin berhembus
menerobos tirai membangunkan laki-laki tua yang tampak tertidur di sebuah kursi
malas dekat jendela. Hembusan angin membangunkannya dari indahnya mimpi atau
mungkin menyadarkannnya bahwa kenyataan yang dihadapi tak seindah dalam pelukan
mimpi.
Ia
mencari-cari keterjagaan. Diraihnya secangkir kopi yang dari tadi terletak
dimeja sebelah kursi malasnya. Sepertinya seteguk kopi tak mampu menyegarkan
wajahnya yang tampak sayu dan pucat. Dipandangnya langit malam yang semakin
suram. Dipandangnya bukit-bukit dikejauhan namun yang tampak hanya hitam dan
hitam. Ia berdiri mendekati jendela.
Dalam hatinya bertanya-tanya “Mengapa malam begitu kelam. Kemana kunang-kunang
yang biasa berterbangan dilereng-lereng bukit. Yang biasa nampak seperti
lampu-lampu metropolis yang selalu menemani ku dibalkon ini?” ia kembali duduk
dikursi malasnya. ia diam. Badannya yang bersandar di kursi sesekali terguncang
pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sementara
di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk terbawa angin
menerpa wajah pucat penuh keriput itu. Gemerincing hujan menambah pilu hatinya.
Terbayang saat ia pergi meninggalkan wanita yang sangat dicintainya. Saat itu
ia berada dalam pilihan yang sangat berat. Wanita yang dicintainya adalah salah
seorang aktivis Gerakan Aceh Merdeka. Sedangkan dirinya adalah seorang anggota
TNI yang ditugaskan di Aceh. Suatu hari ia bertemu dengan Zulaiha gadis Aceh yang
membuatnya jatuh cinta. Begitu besar cintanya terhadap Zulaiha sampai-sampai ia
tak perduli siapa dan bagaimana latar belakang Zulaiha. Zulaiha bukan gadis biasa ia sangat pintar. Dan
memanfaatkan situasi untuk ambisi gerakannya.
Hari
berganti ia semakin jatuh cinta kepada Zulaiha. Meskipun ia tahu bahwa Zulaiha
adalah musuhnya yang setiap saat mengorek informasi darinya. Meskipun ia tahu
bahwa Zulaiha sebenarnya hanya memanfaatkannya. Waktu terus berjalan Zulaiha
melihat ketulusan dihati lakilaki itu. Sebagai seorang wanita hatinya tak
sekeras batu. Lama-lama ia luluh oleh
cinta seorang musuh. Dan suatu hari tanpa disadari gelora cinta keduanya
berkobar membara, laksana naga api mengahanguskan perkotaan. Keteguhan iman
Zulaiha yang noto bene sorang muslim
berjilbab panjang rapuh oleh hasrat cinta. Dan meraka terbuai dalam pelukan cinta
yang menggelora.
Hari
berganti hari, bulan pun terus benganti hubungan mereka tetap berjalan meskipun
butir-butir peluru mengancamnya. Hingga suatu hari Zulaiha memberi kabar bahwa ia
tengah hamil tiga bulan. Ia harus bertanggung jawab. Ia tak ingin anaknya lahir
dengan sebutan anak haram. Namun di sisi lain bagaimana mungkin ia bisa
menikahi Zulaiha. Sedangkan mereka sudah jelas-jelas berbeda.
Belum
terpecahkan masalah mengenai kehamilan Zulaiha muncul masalah baru. Saat dia
sedang bertemu dengan Zulaiha tak sadar bahwa salah seorang anggota TNI lainnya
mengawasi gerak-geriknya. Ia mengetahui hal itu. Dan saat itu juga ia mengajak
Zulaiha untuk melarikan diri dari Aceh. Namun Zulaiha menolaknya karena ia tak
mau meninggalkan orang tuanya dan Zulaiha menyuruhnya untuk melarikan diri
seorang diri. Zulaiha berjanji akan menjaga anak dalam kandungannya. Ia pun
menuruti keingin Zulaiha. Ia pergi meninggalkan Aceh tanpa sepengetahuan siapa
pun.
Ia
menuju ke Kalimantan disana ia mengasingkan diri disebuah rumah saudarannya
yang sudah tak dihuni lagi. Lima tahun kemudian aceh sedah kembali aman.
Keinginannya untuk bertemu dengan Zulaiha dan anaknya tak tertepikan. Akhirnya
ia memutuskan untuk ke Aceh. Sesampai disana keadaan sudah tidak seperti dulu
lagi. Sampuan tsunami telah meluluh lantakkan semuanya. Semua kenangnya telah
sirna. Ia yakin bahwa Zulaiha dan anaknya menjadi korban Tsunami.
Namun
saat Ia hendak pulang kembali ke Kalimantan ditemuinya seseorang yang begitu ia
kenal. Ya temannya sesama anggota TNI yang dulu pernah memergokinya saat
berduaan dengan Zulaiha. Ia menyesalkan mengapa ia dulu pergi dan menghilang.
Padahal temannya itu tak pernah sedikitpun berniat akan melaporkannya ke
atasannya. Ia sangat menyesal. Dan penyesalannya semakin dalam ketika ia tahu
bahwa Zulaiha meninggal bukan lantaran menjadi korban Tsunami namun karena
Zulaiha dihukum rajam oleh masyarakat lantaran hamil diluar nikah.
Hatinya semakin hancur. Sepanjang perjalanan
kembali ke Kalimantan air mata terus membanjiri matanya. Terbayang tangisan
bayi dalam kandungan ibunya yang meraung-raung kesakitan dilempari bebatuan.
Terbayang betapa menderitanya Zulaiha karena cinta yang telah ia berikan dan karena
ia begitu pengecut. Hingga saat ini rasa sesal selalu menghantui. Merenggut
semua sisa umurnya. NB: *tidak seberapa bagus ce.. tapi disyukuri saja dapat berkarya..
No comments:
Post a Comment